Rabu, 14 Desember 2011

PEMIKIRAN ISLAM


AL-GAZALI
Pengembaraan Intelektual dan Pergolakan Batin
Menuju Kehidupan Sufistik Konsep Ma’rifah,
Mendamaikan Syariah dan Tasawuf,
Pengaruhnya di Dunia Islam
Oleh: SUYUTI GAFFAR
I.                   PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
H. M. Rasyidi dan H. Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa filsafat jauh lebih dahulu timbulnya ketimbang agama islam. Islam muncul di Mekkah pada abad ke-6 M, sedang filsafat muncul di Yunani pada abad ke-5 SM atau jauh sebelum-nya. 1 Filsafat yang dimaksud di sini, merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat melalui pengembaraan intelektual.
Salah satu bukti geliat umat Islam dalam pengembaraan intelektual, dapat dilihat sejarahnya ketika terjadi gerakan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani (750-1000 M) ke dalam bahasa Arab. 2 Dari sinilah umat Islam mengkaji dan mendalami filsafat. Di antara filsafat Yunani yang dipelajari adalah pemikiran Plato, Aristoteles dan ajaran Neo-Platonosme. Kemudian dikembangkan oleh orang-orang Islam dengan pendekatan Islam. Dalam hal ini, menjadikan obyek bahasanya pada aspek metafisika, fisika dan etika.
Akan tetapi, sejarah juga mencatat bahwa pada abad ke-4 hijriah, semangat intelektual para ulama Islam mulai melemah. Mereka lebih tertarik untuk mengikuti alur-alur pikiran pada imam terdahulu yang mereka pandang memiliki kelebihan ilmu daripada mereka.3
1 H. M. Rasyidi dan H. Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 87
2 Majid Fakhriy, A History of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara dengan judul “Sejarah Filsafat Islam” (Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 33.
3 Situasi ini memunculkan fanatic mazhab, kemudian memunculkan percekcokan antara penganut mazhab dengan yang lainnya, situasi ini muncul semboyan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Lihat Muhammad Ibnu Abi al-Syaukani, Irsyadi al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilmu al-Ushul (Bairut Dar al-Fikr, t. th), h. 253
Karena semangat taqlid telah mematikan atau setidak-tidaknya telah mengkaburkan ruh syariah Islam. Banyak masalah dalam masyarakat yang tak dapat dihadapi, sehingga bagi yang tidak dapat melihat pokok permasalahannya, dengan semena-mena melemparkan tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya terhadap syariah Islam itu sendiri.4
Menurut Asaf. A. A Fysee, zaman itu dikatakan dimana segi (syariah, hukum, fikih) islam mengalami kemunduran umum.5   Demikian pula menurut Anwar Harjono, menamakannya dengan zaman “kelesuan” karena bagaimanapun juga keadaannya syariah Islam terus hidup, hanya saja dengan semangat kelesuan karena tidak mampu menghadapi keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab.6 Dalam kondisi seperti itulah diperlukan filosof, fakih, sufi, dan ahli tasawuf untuk meluruskan pandangan keliru tadi, dan mampu mendamaikan antara syariah dan tasawuf. pada gilirannya, munculnya al-Gazali (1058-1111 M) seorang ulama yang berpengaruh dan mampu meluruskan pemikiran para ulama yang selama ini keliru.
Al-Gazali menghimbau mereka untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta kembali menghidupkan akal dengan memanfaatkan bahwa pintu Ijtihad tidak pernah tertutup.7 Juga al-Gazali sebagai tokoh tasawuf yang terkenal dengan konsep ma’rifahnya menghimbau agar antara syariah dan tasawuf direkonsiliasi, dipadukan, diparalelkan untuk sejalan bersama-sama. Apa yang dilakukan al-Gazali menyebabkan dirinya mendapat gelar antara lain hujjah al-Islam (bukti kebenaran Islam).8
4 Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya (Cet II: Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 82
5 Asaf. A. A Fysee, Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta: Tirtamas 1960), h. 38
6 Anwar Harjono, loc. Cit
7 Lihat John. L. Esposito (ed) ensiklopedi Oxford, Dunia islam Modern (Bandung: Mizan, 2003), h. 112
8 Lihat M. M Syarif (ed), Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, t. th), h. 102
Dengan uraian seperti di atas, maka sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang ketokohan al-Gazali sebagai pilsuf muslim, faqih, dan sufi yang pengaruhnya sangat kuat mendominasi generasi muslim sesudahnya dalam pete dunia Islam.
B.      Rumusan Masalah
Berdasar pada pemaparan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah pokok dibahas selanjutnya adalah, bagaimana sosok al-Gazali dalam sejarah pemikiran dunia Islam?
Masalah pokok di atas, dikembangkan pembahasannya ke dalam tiga sub masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengembaran intelektual al-Gazali dan pergolakan batinnya menuju kehidupan sufistik?
2.      Bagaiman konsep ma’rifah al-Gazali, dan kritiknya terhadap filsafat?
3.      Bagaimana upaya al-Gazali mendamaikan syariah dan tasawuf, serta pengaruhnya dalam dunia Islam?












II.                 PEMBAHASAN
A.     Pengembaraan Intelektual al-Gazali dan Pergolakan Batinnya Menuju Kehidupan Sufistik
Pengembaraan artinya pergi kemana-mana dengan tujuan untuk proses pertumbuhan sedangkan intelektual adalah pemikiran yang jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.9 jadi pengembaraan intelektual mengandung makna sebagai upaya pengembangan pemikiran, dan yang demikian ini bila dikaitkan dengan pengembaraan intelektual seorang berarti terkait pula ddengan sejarah kehidupannya. Berkenaan dengan itulah sub bahasan ini disinggung pula bagian makna latar belakang kehidupan al-Gazali.
Sebutan al-Gazali10 bukanlah maknanya yang asli. Adapun namanya sejak kecil ialah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Sesudah berumah tangga dan mendapat seorang putra laki-laki yang bernama “Hamid”, maka dia dipanggil “Abu Hamid” (bapak si Hamid)11 Selanjutnya karena kefasihan dalam berbicara, pengetahuan yang dalam tentang seni berdebat dan berargumentasi serta pengetahuannya yang luas akan berbagai studi membuatnya termasyhur sehingga digelar sebagai “Hujjatul Islam”. Dengan demikian, nama lengkap al-Gazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Gazali Hujjatul Islam.






 

9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 296, dan 437.
10 Penulisan nama al-Gazali ada dua macam yaitu: (1) Al-Gazali (dengan satu “z”), nama ini berasal dimana desa tempat beliau lahir, yaitu “Gazala”; (2) Al-Gazzali (dengan dua “z”) terambil dari istilah nama pekerjaan orang tuanya yakni ghazzal (pemintal dan penjual wol). Lihat Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup imam al-Gazali (Jakarta; Bulan Bintang, 1975), h. 28
11 Lihat Ibid., h. 27
Al-Gazali lahir di Ghazali, suatu desa dekat Thus12 di daerah Khurasan (Persia), Iran sekarang pada tahun 450 H/1058 M.13 Dia berasal dari keluarga miskin namun agamis. Bapaknya bekerja sebagai penenun wol. Semenjak kecil al-Gazali telah menjadi yatim, sebelum orang tuanya meninggal, ia dan saudaranya dititipkan kepada seorang sufi sahabat ayahnya untuk dipelihara dan dididik.14 Oleh sahabat ayahnya, Ahmad bin Muhammad al-Razikani di Thus dari beliaulah al-Gazali mendapatkan ilmu dibidang fikih secara mendalam dan kemudian mempelajari tasawuf dari Yusuf al-Nassay seorang sufi terkenal. Selanjutnya meninggalkan Thus menuju “Jurjan” untuk mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persia sambil belajar pengetahuan agama dan gurunya yang terkenal ialah Imam Abu Nashar al-Ismai’li, di samping itu dengan berbagai pertimbangan al-Gazali kembali lagi ke kampong halamannya di Thus.15
Pada tahun 470 H, al-Gazali mengembara menuju Nishopur (Naisabur) untuk belajar di sekolah tinggi “Nizamiyah”, disinilah beliau bertemu dengan Abu al-Ma’ali Dhiuddin al-Juwaeni (Imam Haramany).16




 

12 Thus adalah salah satu kota di Khurasan yang penduduknya sangat heterogen, baik dari segi faham keagamaan maupun dari segi suku bangsa. Lihat al-Subki, Tabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, juz IV (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, t.th), h. 102
13 Badawy Thabanah, al-Tasnawwuf al-Islamy wa Dirasat Tahliliyat li al-Syakhshiyat al-Ghazali wa Falsafatuhu fi al-Ihya ‘, Muqaddimah Kitab al-Gazali, Ihya Ulum al-Din (Semarang: Maktabat wa Mathba’ah Toha Putra, t. th), h. 7.
14 Zainal Abidin Ahmad, op. cit., h. 30
15 Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta: ikhtiar Baru, Van Hoeve), h. 25
16 Imam Haramain ialah gelar kehormatan yang diberikan kepada al-Juwaini setelah baliau melawat ke tanah suci Mekkah dan Madinah sebagai ulama besar yang diakui mengajar dan memberi fatwa hampir empat tahun. Itulah sebabnya digelar sebagai Imam Haramain (Imam dari dua kota suci Mekkah dan Madinah) dan diminta oleh perdana Menteri Nizamul Mulk menjadi Rektor di Universitas al-Nizamiyah. Lihat Zainal Abidin Ahmad, op. cit., h. 33
Dengan bimbingan al-Juwaeni, al-gazali menjadi ilmuwan besar, ia menerima ilmu pengetahuan di sekolah tinggi ini, yaitu hukum Islam, sufisme, logika dan ilmu-ilmu alam dan filsafat.17 Dalam menuntut ilmu, al-gazali termasuk murid yang pandai, mampu mempelajari bahkan menghapal berbagai materi yang tidak dapat dilakukan oleh murid lain yang seangkatan dengannya.
Naishabur merupakan batu loncatan pengembaraan bagi al-Gazali untuk menaiki tangga kemajuan dan kemasyhuran namanya, sambil belajar dia diangkat menjadi asisten dari Imam Haramain di usia 25 tahun. Setelah gurunya Imam Haramain meninggal pada tahun 478 H/1085 M. Di saat itu, al-Gazali dikenal murid Haramain yang hebat dan cerdas, menarik perhatian Nizham al-Mulk (Perdana Menteri Kerajaan Abbasiah), maka dia diundang dan diangkat menjadi pimpinan Universitas Baghdad yang menjadi pusat dari seluruh Universitas Nizamiyah di masa itu.18 Selama masa ini, ia telah melahirkan sejumlah rakyat dalam bentuk buku, baik dalam bidang fikih, teologi dan filsafat.19
            Tahun 1090, Nizham al-Mulk, negarawan ini mengakui keahlian al-gazali yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar (professor) dalam ilmu hukum di Universitas Nizhamiyah Baghdad. Al-Gazali bertanbah tinggi kehormatannya dan kekuasaannya dalam negara, melebihi umara dan penasehat khalifah.20
           
            17 Abd. al-Rahman Badawi, Muallafat al-Gazali (Damaskus: al-Majelis al-A’la li Ri’yat al-Funun, 1961), h. 19
            18 Lihat al-Gazali, Munqiz al-Dhalal (Beirut: al-Ma’ktabat al-Sa’biyyah, t. th), h. 35-37
            19 Buku-bukunya yang terbit dalam bidang fikih antara lain: al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz dan al-Khulashat. Dalam bidang ilmu kalam antara lain: al-Iqtishal, al-Risalah, al-Qudsiah, Ilm al-Kalam. Dalam bidang filsafat ialah Maqashid al-Falsifah dan Thafut al-Falasifah, serta selainnya. Lihat ibid., h. 57
            20 Zainal Abidin Ahmad, op. cit., h. 40
Selama proses pengembaraannya terhadap penguasaan berbagai ilmu pengetahuan, al-Gazali pernah mengalami pergolakan batin, di dalam dirinya   tumbuh keraguan, ia meragukan pengetahuan yang diperolehnya yang akhirnya menimbulkan penyakit phisik yakni tidak bisa berbicara.21
            Pergolakan batin yang dialami al-Gazali menyebabkan dirinya berobat secara medis dan kejiwaan kepada beberapa orang dokter ahli, namun tidak berhasil. Menurutnya ia memperoleh nur (cahaya) yang dipancarkan Allah s.w.t. terbukalah ma’rifah untuk menghilangkan keraguan dalam hatinya dengan jalan menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Dengan demikian, ia meninggalkan Baghdad kemudian mengembara ke Damaskus selama 2 (dua) tahun untuk beribadah, beri’tikaf di mesjid kota itu. Selanjutnya ke Bayt al-Maqdis dengan maksud yang sama, selanjutnya mengembara ke Mesir untuk mendapatkan ketenangan. Beliau akhirnya ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan selanjutnya ke Madinah.22
            Tidak ada keterangan yang pasti berapa lama al-Gazali menetap di tanah suci Mekkah dan Madinah, dari pengembaraannya selama 10 tahun semenjak meninggalkan Baghdad dengan menetap di Damaskus selama 2 tahun. Di tempat lain 8 tahun, diperkirakan 5 tahun di Mekkah dan Madinah dan selanjutnya 1 tahun di Palestina dan 2 tahun di Mesir.
            Dengan hati yang puas, menurut pengakuannya kurang lebih 10 tahun masa berkhalwat, dia mengalami pergolakan batin yang kuat, dan dalam keadaan demikian terbuka segala soal yang tidak terhitung banyaknya lewat ilmu dari Allah s.w.t. Maka pada tahun 1108 M, ia kembali ke Naishabur memenuhi permintaan Fakhr al-Muluk (anak Nizham al-Muluk) untuk mengajar di Nizhamiyah.

           
21 Al-Gazali, Munqiz, op. cit., h. 31
                22 Ibid
Namun tidak berapa lama mengajar, tanpa alasan yang jelas ia memutuskan untuk berhenti dan pulang ke kampong halamannya (Thus). Ia sempat mendirikan madrasah untuk para penuntut ilmu dan tempat berkhalwat pengolahan batin para sufi, dan akhirnya pada hari senin 14 Jumadil akhir 505 H (18 desember 1111 M), al-Ghazali wafat dalam usia 55 tahun.23
Sepeninggal al-Gazali,  dia mewariskan beberapa karya yang terkenal antara lain; Maqashid al-falsifah; Tahafut al-Falasifah; al-Ma’arif al-‘Aqliyah wa al-Hikmah al-Ilahiyah; Mi’yar al-‘Ilm; Jam al-Haqaiq fi Tajrad al-A’laiq; Ihya ‘Ulum al-Din; al-Basit; al-Wasit; al-Wajiz; al-Khulashat; al-Iqtishal; al-Risalah al-Qudsiah; Ilm al-Kalam; Haqaiq al-‘Ulum; Maqasyifah al-Qulub al-Matrahba Ila ‘Allam al-Ghuyub; Mihaq al-Nazhr; ma’arij al-Quds fi Mudarij Ma’rifah al-Nafs. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah karya-karya al-Gazali. Namun, diperkirakan mencapai sekitar 228 buah. Hanya saja, sebagian karya-karyanya adalah kitab Ihya Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu agama). Karyanya ini, menjadi koleksi bacaan yang sangat digandrungi oleh banyak kalangan umat Islam.

B.      Konsep Ma’rifah al-Gazali
Berdasar dari uraian sebelumnya, bisa dipahami bahwa al-gazali di akhir-akhir kehidupannya, berada pada dunia sufi dengan maqam ma’rifah. M. Rasyidi dan Harifuddin Cawidu menjelaskan bahwa maqam ma’rifah dicapai al-Gazali, dilatarbelakangi oleh kedalaman pemikirannya tentang filsafat yang ada pada akhirnya mengalami goncangan jiwa (pergolakan batin, [pen].24




 

23 Al-Gazali, Mukasyofat al-Qulub al-muqarrab min ‘Alam al-Ghuyub (Kairo: Dar al-Sya’b, t. th), h. 8
24 Uraian lebih lanjut lihat H. m. Rasyidi dan H. Harifuddin Cawidu, op. cit., h. 87-88.
Dalam berbagai literature yang ada, diketahui bahwa puncak pemikiran filsafat al-Gazali sebelum beralih ke dunia sufi dengan konsep dan maqam ma’rifatnya, berkenaan kritiknya terhadap filsafat itu sendiri. Dalam tahap awal, al-Gazali menyalin pendangan ahli-ahli filsafat Muslim secara obyektif tanpa kritik yang jelas dalam karyanya Maqashid al-Falasifah (Pemikiran Kaum Filosof). Karya ini disusunnya sebagai langkah persiapan untuk membuktikan keangkuhan yang dilakukan oleh ahli filsafat.25 Buku ini berisi tiga persoalan filsafat yaitu Logika, ketuhanan dan fisika. Setelah itu, dia menulis buku berikutnya yaitu Tahaful al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filosof), dimana ia bertindak bukan sebagai seorang filosof, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mebngkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kejanggalan-kejanggalan, yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama. Menurutnya, para filosof hanya mengambil ujung-ujung filsafat, dan tidak menggali sampai pada uratnya. Padahal kalau sekiranya digali sampai ke urat, filsafat tidaklah memperoleh pendirian ketuhanan, hanyalah akan mengoyahkannya.26
                        Menurut al-Gazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu matematika, logika, fisika, metafisika (ketuhanan), politik dan etika.27 Hubungan lapangan-lapangan tersebut dengan agama tidak sama; ada yang tidak berlawanan sama sekali dengan agama, dan adapula yang sangat berlawanan dengan agama.
           

           



 

25 Muhammad Aziz Siregar, Islam Untuk Berbagai Aspek kehidupan (Cet. I: Yogyakarta: PT. Tiara wacana, 1999), h. 47
               
26 Hamka, Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniannya (Cet. X; Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 133
                 
                27 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 145
Kritikan-kritikan al-Gazali tersebut di atas, menyebabkan dirinya tidak lagi mengandrungi alam filsafat. Dia berusaha mencari kebenaran hakiki di luar dunia filsafat dan pada gilirannya al-Gazali menekuni ilmu tasawuf. Orientalis seperti Cyril Galsee menjelaskan bahwa terhadap pemikiran filosof, al-Gazali menyangkal kemampuan kalangan filsafat yang hanya mendasarkan dugaan atau pemikiran pribadi dalam upaya mencapai kebenaran dan kepastian.28 Akhirnya al-Gazali beralih dari filsafat ke dunia tasawuf, dan pada tasawuf inilah al-Gazali mencapai maqam ma’rifat dan dia sendiri memiliki konsep tentang ma’rifat. Konsep tersebut dijadikan pegangan para sufi sunni.
Term ma’rifatullah dalam tasawuf (mistisme Islam) berarti mangetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.29 Ditemukan sederetan ayat al-Qur’an yang terkait dengan esensi mengetahui Tuhan dari dekat. Misalnya saja, perintah untuk selalu mengingat Tuhan yang tujuannya tiada lain agar manusia mendekatkan diri kepada Tuhan.30 Mengenai makna “dekat dengan Tuhan” dalam ayat-ayat al-Qur’an yang telah disebutkan, merupakan landasan ma’rifatullah yang dikemukakan al-Gazali. Dengan landasan seperti ini, maka yang dimaksud ma’rifatullah menurutnya, setidaknya mengandung tiga konsep yakni;
1.      “melihat” dan merasakan kehadiran Tuhan melalui mata hati (anwar al-basirah), yang menghasilkan hub al-Ilahi.
2.      “perjumpaan” yang disebut secara simbolis anwar al-muwajahah, yakni kehadiran lahiriah Tauhan atau wahdah al-syuhud.


 

28 Cryill Glasse, The Concies Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi dengan judu Ensklopedoa Islam Ringkas (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 106
    
29 Qamar al-Kailani, Fiy al-tasawwuf al-Islam (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 149. Bandingkan dengan Harun Nasution, op. cit., h. 75.
      
30 Ayat-ayat al-Qur’an yang mengacu pada tujuan ini, antara lain lihat QS. Al-Baqarah: 152; QS. Al-Kahfi: 24; QS. Al-A’raf:201.
3.      “penyatuan” atau bermanunggalnya Tuhan dengan manusia, yang disebut ittihad melalui fana.31
Pada konsep pertama, yakni melihat dan merasakan kehadiran Tuhan sehingga melahirkan ajaran hub al-Ilahi adalah salah satu symbol kedekatan manusia dengan tuhan melalui cinta. Pada konsep kedua yakni perjumpaan dengan Tuhan sehingga melahirkan ajaran al-wahdat al-syuhud adalah tersingkapnya tabir antara manusia dengan Tuhan (al-mukasyafah). Sedangkan konsep ketiga, yakni penyatuan manusia dengan Tuhan yang menghasilkan ajaran al-ittihad. Ketiga konsep “dekat dengan Tuhan” atau ma’rifatullah yang dipaparkan al-Gazali ini, memiliki kesamaan dengan ajaran-ajaran sufisme pada umumnya, namun memiliki penamaan yang berbeda-beda. Menurut R.A. Nicholson, penamaan yang berbeda merupakan puncak penghayatan fana’ dan ma’rifat mereka (para sufi sunni). Dalam hal ini, lebih lanjut R.A. Nicholson menyetakan bahwa:
Whatever terms may be used to describe it, the unitives state is the culmination of the simplifying process bay which the soul is gradually isolated from all that is foreign to itself, from all that is not God.32
Artinya:
Dengan istilah apapun (nama apapun) yang mungkin dipergunakan untuk melukiskan, penghayatan manunggal (dengan Tuhan/ma’rifatullah) adalah pucak penghayatan dengan mana pengalaman kejiwaan meningkat keterasingannya dengan segala yang bukan dirinya, dari apa yang bukan Tuhan.
           
Dalam tasawuf, penghayatan ma’rifatullah yang dimaksud dalam kutipan di atas, bisa dicapai melalui memuncaknya penghayatan zikir melahirkan ittihad (menyatu dengan Tuhan).


 

31 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Ihya’ Ulum, Juz II (Bairut: Dar al-Fikr, 1991), h. 43

32 R. A. Nicholson, The Mystics of islam (London, t. p, 1974), h. 149
Di samping itu, bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada mabuk cinta (sakar) di dalam Tuhan, atau dari kedua-duanya dari mendalamnya cinta dalam, yakni zikir dan fana’. Namun bagi al-Gazali, zikir dalam ibadah shalat, yang bertujuan untuk mengingat Tuhan dan mendekatkan diri kepadanya, termasuk ibadah lain, zakat, puasa, dan kewajiban yang ditetapkan Allah semuanya mengarah kepada tujuan mendekatkan diri kepada-Nya, itulah yang disebut ma’rifatullah. 33 Jadi tampilnya al-Gazali dalam dunia tasawuf dengan konsep ma’rifahnya, memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu sebagaimana yang dipahami dalam konsep ittihad.
            Di pihak lain, al-Gazali memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman kesufian puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Bagi al-Gazali, kesatuan denga Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi simbolistik.34 Jadi secara jelas al-Gazali mengkonsepsikan bahwa ma’rifah itu tidak berarti seseorang menjadi padu atau bersatu dengan Tuhan tetapi mengenel Tuhan “nazharu ila wajh Allah” memandang atau melihat wajah Allah, ai melihat Tuhan dengan mata hatinya dan inilah maqam yang tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi.
           





 

33 Harun Nasution, op. cit., h. 52-53
34 Hujatul Islam Abu Hamid al-Gazali, al-Munqiz min al-Dhalal (Kairo: Dar al-Ma’alim, 1316 H), h. 76. A. Rivai Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 13.
C.      Upaya Al-Gazali Mendamaikan Syariah dan Tasawuf, serta Pengaruhnya dalam Dunia Islam
Al-Gazali dalam konsep ma’rifahnya sebagaimana yang telah diuraikan, tidak sampai menegaskan bahwa ma’rifah itu mengetahui asensi Tuhan melalui ittihad dan fana’. Ma’rifah bagi al-Gazali sebatas kedekatan hamba dengan Tuhan, dan dekatnya seorang hamba itu sebagaimana yang disinggung tadi bisa jadi dengan melalui amalan ibadah seperti shalat, zakat dan puasa. Amalan-amalan ini dalam Islam disebut amalan syariah, karena ia menyangkut pada persoalan fikih. Dari sini kemudian dipahami bahwa dalam pemikiran al-Gazali, antara syariah dan tasawuf tidak ada pertentangan. Atau dengan kata lain bahwa, antara amalan syariat dengan amalan tasawuf sejalan, damai dan menyatu.
Adanya upaya pendamaian antara syariah dan tasawuf bisa pula dilihat dalam karya-karya al-Gazali yang berbicara tentang fikih. Menurut Abdillah F. Hasan bahwa kalangan muslim sendiri masih terjadi pertentangan antara kajian yang dilakukan para sufi, namun Al-Gazali karena melalui kajian ilmu batin kesufian, paralesasi dengan ritual ibadah yang dilakukannya sehingga ia dianggap sebagai penengah dalam bidang tasawuf dan syariah.35
Dalam Islam al-Gazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf Sunni, yakni tasawuf yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah juga berdasarkan kehidupan yang sederhana. Pendidikan maupun pembinaan jiwa. Dalam hal ini al-Gazali seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad-abad kedua dan ketiga. Demikian juga al-Gazali seiring dengan al-Qusyairi, al-Harawi ataupun para sufi sebelumnya yang berafililasi aliran yang sama. Namun dari segi keprinadiannya, keluasan pengetahuannya dan tasawufnya, al-Gazali lebih besar di banding semua tokoh tersebut.


 

35 Lihat Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam (Surabaya: Jawara, 2004), h. 194
Dia dipandang sebagai seorang sufi terbesar dan pengaruhnya atas tasawuf begitu mendalam.36
Menurut Ibnu Khallikan, dengan karya-karya al-Gazali yang banyak itu sangat bermanfaat dalam dunia ilmu, apalagi karya terbesarnya “Ihya’ Ulumuddin” dipandang ibnu Khallikan bahwa karya yang paling bagus dan luas, sejak dulu sampai sekarang banyak mendapat perhatian. Hal ini karena nilainya yang tinggi dan kemamfaatan yang terkandung didalamnya. Terlebih lagi menurut Ibnu Khallikan bahwa karya tersebut menjadi semacam babakan baru dalam sejarah kehidupan pemikiran dan rohaniah Islam.37
Pengaruh al-Gazali menelusuri pantai Eropa lewat karya-karyanya yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa Eropa, misalnya Ihya’ Ulumuddin diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Spanyol oleh gundi salvo dan Calonymus. Bahkan dalam bahasa Latin, Ibrani. Kemudian di terbitkan diberbagai belahan dunia Barat dan Timur.
Kekaguman oleh para tokoh bukan saja mengalir dari kalangan Islam namun dari berbagai kalangan agama, termasuk tokoh nasrani akibat pengaruh dari ajaran mistik seorang mistikus al-Gazali.
Setelah mendekati ajaran tasawuf al-Gazali dalam hal: al-Tariq, Ma’rifat, Fana dalam Tauhid atau Ilmu Mukasyafah, pengungkapan Ilmu Mukasyafah secara simbolis dan kebahagiaan, maka timbullah komentar antara lain:







 

36 Lihat Ibid., h. 148.
                37 Lihat Ibid., h. 154.
1.      Abu al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani, bahwa kini kita telah mengetahui bagaimana al-Gazali menjadikan tasawuf sebagai jalan yang jelas ciri-cirinya untuk mencapai pengenalan dan kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan. Bahkan dia sebagai seorang sufi telah mampu menyempurnakan tasawuf sehingga mencakup semua karakteristik tasawuf atau mistisme.38
2.      R. A. Nicholson, bahwa al-Gazali telah member suatu pengertian baru terhadap Islam, waktu dia mengikuti sikap para sufi secara terang-terangan. Sejak itu, sampai sejauh yang ada Islam telah menjadi anutan para sufi.39
3.      Sementara de Boer berpendapat bahwa al-Gazali telah memperluas cakrawala dalam kalangan mayoritas kaum muslimin, sejak masa al-Gazali menjadi tonggak yang secara jelas didasarkan pada ilmu dan sebagai pertanda di persimpangan jalan.40

Betapa penting posisi al-Gazali dalam tasawuf, yang terpenting adalah dia membangkitkan persoalan keraguan dan keyakinan, dan dia tidak menjadikan pengetahuan keagamaan hanya sekedar sebagai ikutan lahiriyah saja atau hanya sebagai perbantahan teoritis saja, sebagaimana sebelumnya berkembang dalam kalangan para teolog. Tetapi dia telah menjadikan pengetahuan keagamaan tersebut justru sebagai pengalaman yang berdasarkan cita rasa. Disamping keberhasilannya memberikan batasan-batasan yang cukup jelas tentang pengalaman tersebut, suatu hal yang justru belum pernah dilakukan para sufi sebelumnya. Ini berarti, dia telah memberikan kepada Islam, baik pada masanya dan juga sesudahnya, suatu cita rasa baru dan kajian mendalam tentang pengetahuan keagamaan.






 

38 Abu al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani, dalam terjemahan, op. cit., h. 184
                        39 R. A. Nicholson, Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarikhuh, disunting Abu al-Ala ‘Affifi (Kairo: Lajnah al-Ta’Lifwa al Tarjamah wal al-Nasyr. 1947) dalam Ibid., h. 185.
                        40 Ibid                                                     
Sementara dari segi lain al-Gazali adalah seorang sufi yang secara positif menaruh perhatian terhadap berbagai persoalan pada masanya. Dengan sekuat tenaga dia menghadapi berbagai aliran pemikiran yang menyimpang pada masanya dan melancarkan kritik yang ilmiah dan teliti terhadap aliran-aliran tersebut. Yang sangat dikhawatirkan seandainya tidak demikian sikap al-Gazali, akan berakibat menghancurkan sendi-sendi Islam.
Dan pada akhirnya menurut hemat penulis bahwa sangat menarik juga adalah yang membangkitkan kekaguman terhadap al-Gazali, dia sebagai seorang pemikir telah sepenuhnya melaksanakan buah pikirannya. Jelasnya tidak ada jurang antara apa yang dia yakini dengan apa yang dia lakukan. Tasawufnyapun dipandang sebagai citra kehidupannya, dan kehidupannya adalah citra tasawufnya. Bahkan dalam setiap fase perkembangan rohaniahnya dia berlaku jujur terhadap dirinya sendiri.













III.              KESIMPULAN
Berdasar pada uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa al-Gazali yang bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Hujjatul Islam, adalah sosok ulama yang lahir pada tahun 450 H/1058 M dan wafat pada tahun 478 H/1111 M. Dia tergolong sebagai filsuf, faqih, dan sufi yang terkenal dalam peta pemikiran Islam.
Pengembaraan intelektual al-Gazali yang telah mencapai puncaknya pada bidang filsafat, menyebabkan dirinya mengalami pergolakan batin, dan pada akhirnya dia beralih ke dunia tasawuf dengan capaian maqam ma’rifah. Maqam ini sesungguhnya dalam pandangan al-Gazali, adalah maqam syariah karena pencapaian maqam tersebut, harus dipusatkan pada peningkatan amalan-amalan syariah seperti ibadah shalat, zakat, puasa dan kewajiban lainnya.
Dunia tasawuf yang dimasuki al-Gazali dan pemusatan amalan syariah secara seimbang menyebabkannya dianggap sebagai pendamai yakni penengah dalam mengartikulasikan konsep tasawuf dan syariah. Sebab dia mampu menjalankan ajaran tasawuf dan ajaran syariah secara bersamaan, dan tidak ditemukan adanya kontroversialisme di antara kedua konsep ajaran tersebut dalam pandangan dan pengalaman yang dilakukan al-Gazali.
Berdasar pada rumusan kesimpulan diatas, tampak sosok al-Gazali sangat patut dijadikan suriteladan. Dalam hal ini, pengembaraan intelektualnya dan konsepnya tentang ma’rifah yang relevan dengan ajaran syariah, banyak mendapat perhatian dari kalangan ulama sehingga memiliki dominasi pengaruh dalam dunia Islam dari generasi ke generasi.
 





DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Wafa’ al-Ganami al-Taftazani, Madhal Ila al-Tasawwufi al-Islam, Cet. IV, Kairo: Dar al-Tsaqafah Lial-Nasyr al-Tausi, 1983.
Ahmad Rofi’ Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Cet. I, Bandung: Pustaka, 1985
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam al-Gazali. Jakarta; Bulan Bintang, 1975.
Azra, Asymuardi. (ed). Ensiklopedi Islam. Cet IV: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Badawi, Abd. al-Rahman. Muallafat al-Gazali. Damaskus: al-Majelis al-A’la li Ri’yat al-Funun, 1961.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: bulan Bintang, 1992.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru, Van Hoeve.
Esposito, John. L. (ed) Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2003.
Fakhriy, Majid. A History of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara dengan judul “Sejarah Filsafat Islam”. Cet. I; Jakarta: Pustaka jaya, 1987.
Gazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulum al-Din, Juz II. Bairut: Dar al-Fikr, 1991.
                 . Al-Musytashfa min ‘Ilm al-Ushul, jilid II. Bairut: Dar al-Fikr, t. th.
                 . Al-Munqiz min al-Dhalal. Kairo: Dar al-Ma’alim, 1316 H
                 . Mukasyofat al-Qulub al-Muqarrab min ‘Alam al-Ghuyub. Kairo: Dar al-Sya’b, t. th.
Glasse, Cryill. The Concies Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi dengan judul Ensklopedoa Islam Ringkas. Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Hamka, Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniannya. Cet. X; Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Harjono, Abdillah F. Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam. Surabaya: Jawara, 2004.
Al-Kailani, Qamar. Fiy al-Tasawwuf al-islam. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976.
M.M Syarif (ed), Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, t. th.
Muzani, Syaiful ed., Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. harun Nasution. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Nicholson, R. A. Fi al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhuh, disunting oleh Abu al-‘ala ‘Affifi, Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr 1947.
Nicholson, R. A. The Mystics of Islam. London, t. p, 1974.
Rasyidi, H. M. dan H. Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Siregar, A. Rivai. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Al-Syaukani, Muhammad ibn Abi. Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Bairut Dar al-Fikr, t. th.
   Thabanah, Badawy. Al-Tashawwuf al-Islamiy wa Dirasat Tahliliyat li al-Syakhshiyat al-Ghazali wa Falsafatuhu fi al-Ihya ‘, Muqaddimah Kitab al-Gazali, Ihya Ulum al-din. Semarang: Maktabat wa Mathba’ah. Toha Putra, t. th.
Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II. t. tp: Dar al-Fikr, t. th.